BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perkembangan
merupakan suatu proses perubahan kualitatif
yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmani serta penyempurnaan
fungsi-fungsi psikologis individu atau suatu proses perubahan yang sistematis,
progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir
hayatnya menuju tingkat kedewasaan. Proses dasar psikologis terdapat pada
adanya kognisi dan persepsi, karena dua proses tersebut dikatakan fundamental
dalam menentukan bagaimana manusia menerima dan mengolah informasi mengenai dunia
termasuk hubungan kita dengannya.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka kelompok ingin mengidentifikasi makalah ini dengan
kaitanya:
1.
Kognisi Manusia
2.
Persepsi Manusia
3.
Budaya dan
Kognisi
4.
Intelegensi
C.
Rumusan Masalah
Sesuai
dengan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
idetifikasi budaya dan proses-proses dasar psikologis.
D. Tujuan
penulisan
Makalah ini dibuat
dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas akan budaya dan proses-proses
dasar psikologis dalam kehidupan, serta memenuhi salah satu syarat mata kuliah
Konseling Lintas Budaya dengan dosen pengampu Bapak Edi Irawan, S.Pd, M.Pd.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kognisi
Manusia
Proses dasar psikologis
manusia terdapat pada kognisi dan persepsi, yang telah menjadi fondasi. Kognisi
adalah proses berfikir manusia mulai dari pencarian (seeking), penerimaan
(sensation), pemaknaan (perception), penyimpanan (storing), hingga penggunaan
informasi (using). Kognisi merujuk pada sebuah proses berpikir yang meliputi
bgaimana mendapat informasi, menyimpannya dalam otak, dan menggunakannyauntuk
memecahkan masalah, berpikir, dan memformulasi bahasa (Solso, 1995). Sedangkan persepsi
merupakan bagian dari proses kognisi,maka persepsi adalah proses pemaknaan
(interpretation) atas informasi yang diperoleh.
Dua proses tersebut
dikatakan fundamental karena menentukan bagaimana manusia menerima dan
mengelolah informasi dengan mengenai dunia termasuk hubungan kita dengannya.
Dapat disimpulksn bahwa keduanya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dimana latar belakang budaya sendiri yang mempengaruhi proses sensasi dan
persepsi, selanjutnya interprestasi tersebut yang akan mempengarihi
proses-proses lain dalam kognisi manusia.
B. Persepsi
Manusia
1. Dunia
Adalah Apa yang Tampak
Suatu
kecenderungan manusia untuk mengasumsikan secara naïf bahwa dunia adalah apa
yang sebenarnya tampak dan dirasakan oleh indera, padahal apa yang disensasi oleh
indera manusia adalah sangatlah terbatas.
2. Sensasi
dan Persepsi
Stimulus-stimulus
yang yang berlimpah dilingkungan, pertama kali ditangkap oleh indera manusia.
Menurut solso (1995) ibaratnya indera hanyalah lensa kamera yang hanya memotret
sebagian dari keseluruhan pemandangan yang kita lihat, apa yang kita tangkap
hanyalah stimulus yang memiliki daya
tarik paling kuat dan paling memenuhi
kebutuhan kita.
3. Nativism
Vs Empirism
Ada
dua sudut pandangdari para akademisi yang saling bertentangan yaitu: nativism
versus empirism. Para nativistis umumnya meyakini bahwa proses persepsi
(perceptual constancy) dan fenomena perceptual lainnya merupakan hasil kerja
system syaraf manusia dan bersifat bawaan. Gibson (1950) berpendapat bahwa
masalah bagaimana sebuah organisme menerima (melihat) dunia dalam bentuk tiga
demensi, sekalipun divisualkan dalam bentuk dua dimensi, sesungguhnya retina
pada mata secara essential tidak mengalami masalah dengan itu semua.
Apa
yang terjadi adalah bahwa retina mata mengandung seluruh informasi yang
organism butuhkan bagi otak un tuk mengolah informasi secara otomatis.
4. Teori
Empiris Brunswick : Dasar Penelitian Lintas Budaya
Titik
pandang dalam kajian Brunswick menjelaskan bahwa persepsi merupakan hasil
fungsi dari interaksi antara organisme dan stimulus yang disensasi.
5. Budaya
dan Persepsi
W.H.R.
Rivers meneliti ketajaman penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dari
orang-orang pribumi tersebut. Rivers dapat menyimpulkan bahwa ketajaman
kemampuan sensasi dari suku Torres Stait ini tidaklah luar biasa seperti yang diduga
meskipun diakui lebih menonjol dibandingkan dengan orang-orang Eropa. Kajian
yang paling diminati adalah penelitian-penelitian mengenai optical Illusions
atau persepsi yang melibatkan ketidaksesuaian antara apa yang dilihat dengan
sesungguhnya realita. Beberapa optical Illusions yang terkenal adalah Muller
Layer illusions, Horizontal-Vertical Illusions, dan Ponzo Illusions. Penelitian
pertama mengenai illusi optic ini dilakukan oleh Rivers ( 1905, dalam Price
2002) ketiga kelompok ini tunjukan Muller Layer dan Horizontal Vertikal
Ilussions dan diminta menunjukan garis mana yang lebih panjang.
Ditemukan
dari Muller Layer Ilusions bahwa pada responden Inggris lebih membuat kesalahan
dibandingkan dengan kedua kelompok responden lain (Pedalaman India dan Papua Nugini).
Responden Inggris lebih banyak yang melihat bahwa kedua garis dalam Muller
Layer Illusions adalah tidak sama panjang, garis pertama lebih pendek dari
garis kedua. Hal yang berbeda terjadi pada kelompok responden komunitas
pedalaman India dan Papua Nugini yang cenderung melihat kedua garis adalah sama
panjang.
Sedangkan
pada Horizontal Vertical Illusions kelompok responden dari Papua Nugini dan
pedalaman India lebih dikelabui dibandingkan responden Inggris, dimana mereka
meyakini bahwa garis vertical lebih panjang dari garis horizontal. Hasil ini
sangat mengejutkan banyak orang awalny
berkeyakinan bahwa tingkat kesalahan illusi dari kelompok responden Papua dan
India akan lebih besar daripada kelopmpok responden dari Inggris yang lebih
berpendidikan.
6. Persepsi
dan Faktor-faktor Terkait
Faktor
Usia Pada Illusi : Tantangan Bagi Penganut Empiristik
Pollack (1967, dalam Matsumoto, 1996) member
alternative baru,bahwa fenomena optical illusions terkait dengan bertambahnya
usia tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan rasial. Efek Muller Layer
Illlusions behubungan dengan kemampuan mendeteksi contour (garis) dimana
kemampuan ini menurun seiring bertambahnya usia. Semakin tua semakin peka
terhadap cahaya matahari dan semakin berkurang cahaya yang masuk ke mata, dan selanjutnya mempengaruhi kemampuan orang
dalam menerima garis dalam illusi. Kemampuan contour detection ini terkait
dengan perbrdaan banyaknya pigmen-pigmen dari retina. Orang kulit hitam dan
berwarna diketahui memiliki pigmen- pigmen retina yang lebih banyak
dibandingkan orang kulit putih.
In
depth perception : Berperankah Factor Pendidikan
Hudson
(1960, dalam Matsumoto, 1996)melakukan sebuah penelitian yang menarik dalam
usahanya mempelajari pengaruh perbedaan budaya dalam persepsi. Disimpulkan bahwa
pendidikan (proses belajar) memiliki pengaruh pada proses persepsi manusia.
7. Budaya
dan Indera Manusia
·
Budaya dan Indera Auditori ini meneliti
pada persepsi visual tampak paling diminati, penelitian-penelitian mengenai
kemampuan indera manusia yang lainya tidak begitu saja ditinggalkan para
psikolog lintas budaya. Oliver (1934, dalam Berry, 1999) dalam melakukan
penelitiannya ia menemukan bahwa mahasiswa Afrika Barat, dibandingkan dengan
mahasiswa Amerika, memperoleh skor yang lebih tinggi untuk diskriminasi
(membedakan) kekerasan suara, diskriminasi suara nada, dan identifikasi ritme,
namun rendah dalam skor diskriminasi pola titi nada, diskriminasi warna suara
(timbre), dan memori nada (tonal memori).
·
Buadaya Dan Indera Perasa ( Pengecap)
·
Kalmus (1969) dan Doty (1984, dalam
Berry, 1999) melaporkan kekurangmampuan orang-orang Kaukasia untuk mengecap
subtansi yang mengandung PTC (phenilthoicarbamide).
·
Budaya Dan Persepsi Warna
·
Magnus (1980, dalam Berry 1999) telah
memberi arahan dalam melakukuan kajian persepsi warna terkait dengan variasi
budaya ini. Beliau mempercayai bahwa persepsi mengenai warna dari suatu
budaya dapat ditelusuri dari lebelisasi
dan kekayaan kosakata warna pada bahasa dari budaya tersebut.
C. Budaya
Dan Kognisi
1. Budaya.
Kategorisasi. dan Pembentukan Konsep
Salah
satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi.
kategorisasi dapat dilakukan pada umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan
karakter dari obyek-obyek yang dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga
merupakan determinan utama dari proses kategorisasi. Misal, ketika kita
melakukan kategorisasi mengenai buku. Maka ada bermacam-macam buku mulai dari
buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak.
Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dan
fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak dapat kita
kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama
namun dalam hal bentuk berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar, sedangkan
kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
2. Perbedaan
Budaya Dalam Memori
Memori
adalah sebuah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding),
penyimpanan (store), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasakan
jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang
menyimpan informasi tidak lebih dari 15 hingga 25 detik, dan memori jangka
panjang atau memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang
ada kesulitan dalam memamggil kembali (Feldman, 1999). Salah satu aspek memori
yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa
ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang
kita baca (primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect)
dari daftar kata yang harus kita ingat.
Wegner
(180, dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada
pengulangan dan strtegi memori ini behubungan dengan pendidikan. Wegner
membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah
sekolah dan menemukan bahwa primacu effect cenderung sangat kuat terjadi pada
anak-anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya Wegner membagi proses memori
atas dua macam yaitu : Hardwere atau kemampuan dasar dari memori (the besic
limitation of memori) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap
kemampuan memori pada anak, dan softwere atau bahasa pemograman-bagaimana kita
mengingat sesuatu-kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemograman inilah peran
pendidikan dan budaya berpengaruh.
3. Budaya
Dan Problem Solving
Kemampuan
Problem Solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar
dari alternative-alternatif jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu
sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa
kemampuan ini sangat terkait dengan factor pendidikan dan pengalaman termasuk
pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Permasalahan yang diteliti dalam
kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berfikir
silogis (contoh: semua anak kecil menyukai permen, siti masih kanak-kanak,
apakah siti menyukaim permen?) dfalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di
Asia Timiur dan Tengah yang dikatakan masih tribal( tradisioanal) dan nomaden
(hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berfikir
silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada
dengan perbedaan budaya.
D. Intelegensi
1. Definisi
Intelegensi
Intelegensi
adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang
keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang
terlingkup dalam intelegensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak
serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosa kata(berapa
banyak kosakata yang kita ketahui dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan
komprehensif ( seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan),
kemampuan matematis (penambahan, pembagian, dan sebagainy), serta berpikir
logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya).
Sternberg (1996) yang membagi intelegensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan
contextual, eksperiential, dan componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi
dfengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik.
Kecerdasan eksperiential adalah merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide-ide
baru dan mengkombinasikan fakta-fakta yang salinh tidak berhubungan. Sedangkan
kecerdasan componential adalah kemampuan berfikir abstrak, memproses informasi,
dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
2. Perbedaan
Budaya Dalam Memahami Intelegensi
Perbedaan
pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam
kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai
kecerdasan bagi orang barat adalah kemampun matematika, namun tidak bagi orang
suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau
melakukan adaptasi social .Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga
berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang tepat. Sangat mungkin
suatu alat tes hanya cocok untuk dikatakan mengukur intelegensi pada suatu
budaya tetapi tidak pada budaya yang lain(Matsumoto, 1996). Dengan demikian,
adanya perbedaan dalam skor intelegensi diantara kelompok-kelompok budaya
barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa
yang disebut dengan intelegansi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran
intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi,
kreativitas, atau keterampilan social, yang mana hal-hal ini adalah
factor-faktor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat cina.
Kajian
lintas budaya juga membuktikan bahwa kemapuan berfikir abstrak atau penalaran
ilmiah yang diasumsikan oleh Peaget sebagai tiaik akhir perkembangan kognitif
ternyata tidak berlaku secara universal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulksn bahwa kognisi dan persepsi
keduanya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dimana latar belakang
budaya sendiri yang mempengaruhi proses sensasi dan persepsi, selanjutnya
interprestasi tersebut yang akan mempengaruhi proses-proses lain dalam kognisi
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Dayakismi, Tri(2008). Psikologi Lintas Budaya. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar