Senin, 24 Juni 2013

budaya dan proses


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitatif  yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmani serta penyempurnaan fungsi-fungsi psikologis individu atau suatu proses perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya menuju tingkat kedewasaan. Proses dasar psikologis terdapat pada adanya kognisi dan persepsi, karena dua proses tersebut dikatakan fundamental dalam menentukan bagaimana manusia menerima dan mengolah informasi mengenai dunia termasuk hubungan kita dengannya.
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok ingin mengidentifikasi makalah ini dengan kaitanya:
1.      Kognisi Manusia
2.      Persepsi Manusia
3.      Budaya dan Kognisi
4.      Intelegensi
C.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah idetifikasi budaya dan proses-proses dasar psikologis.

D.    Tujuan penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas akan budaya dan proses-proses dasar psikologis dalam kehidupan, serta memenuhi salah satu syarat mata kuliah Konseling Lintas Budaya dengan dosen pengampu Bapak Edi Irawan, S.Pd, M.Pd.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kognisi Manusia
Proses dasar psikologis manusia terdapat pada kognisi dan persepsi, yang telah menjadi fondasi. Kognisi adalah proses berfikir manusia mulai dari pencarian (seeking), penerimaan (sensation), pemaknaan (perception), penyimpanan (storing), hingga penggunaan informasi (using). Kognisi merujuk pada sebuah proses berpikir yang meliputi bgaimana mendapat informasi, menyimpannya dalam otak, dan menggunakannyauntuk memecahkan masalah, berpikir, dan memformulasi bahasa (Solso, 1995). Sedangkan persepsi merupakan bagian dari proses kognisi,maka persepsi adalah proses pemaknaan (interpretation) atas informasi yang diperoleh.
Dua proses tersebut dikatakan fundamental karena menentukan bagaimana manusia menerima dan mengelolah informasi dengan mengenai dunia termasuk hubungan kita dengannya. Dapat disimpulksn bahwa keduanya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dimana latar belakang budaya sendiri yang mempengaruhi proses sensasi dan persepsi, selanjutnya interprestasi tersebut yang akan mempengarihi proses-proses lain dalam kognisi manusia.
B.     Persepsi Manusia
1.      Dunia Adalah Apa yang Tampak
Suatu kecenderungan manusia untuk mengasumsikan secara naïf bahwa dunia adalah apa yang sebenarnya tampak dan dirasakan oleh indera, padahal apa yang disensasi oleh indera manusia adalah sangatlah terbatas.
2.      Sensasi dan Persepsi
Stimulus-stimulus yang yang berlimpah dilingkungan, pertama kali ditangkap oleh indera manusia. Menurut solso (1995) ibaratnya indera hanyalah lensa kamera yang hanya memotret sebagian dari keseluruhan pemandangan yang kita lihat, apa yang kita tangkap hanyalah stimulus yang memiliki  daya tarik  paling kuat dan paling memenuhi kebutuhan kita.
3.      Nativism Vs Empirism
Ada dua sudut pandangdari para akademisi yang saling bertentangan yaitu: nativism versus empirism. Para nativistis umumnya meyakini bahwa proses persepsi (perceptual constancy) dan fenomena perceptual lainnya merupakan hasil kerja system syaraf manusia dan bersifat bawaan. Gibson (1950) berpendapat bahwa masalah bagaimana sebuah organisme menerima (melihat) dunia dalam bentuk tiga demensi, sekalipun divisualkan dalam bentuk dua dimensi, sesungguhnya retina pada mata secara essential tidak mengalami masalah dengan itu semua.
Apa yang terjadi adalah bahwa retina mata mengandung seluruh informasi yang organism butuhkan bagi otak un tuk mengolah informasi secara otomatis.
4.      Teori Empiris Brunswick : Dasar Penelitian Lintas Budaya
Titik pandang dalam kajian Brunswick menjelaskan bahwa persepsi merupakan hasil fungsi dari interaksi antara organisme dan stimulus yang disensasi.
5.      Budaya dan Persepsi
W.H.R. Rivers meneliti ketajaman penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dari orang-orang pribumi tersebut. Rivers dapat menyimpulkan bahwa ketajaman kemampuan sensasi dari suku Torres Stait ini tidaklah luar biasa seperti yang diduga meskipun diakui lebih menonjol dibandingkan dengan orang-orang Eropa. Kajian yang paling diminati adalah penelitian-penelitian mengenai optical Illusions atau persepsi yang melibatkan ketidaksesuaian antara apa yang dilihat dengan sesungguhnya realita. Beberapa optical Illusions yang terkenal adalah Muller Layer illusions, Horizontal-Vertical Illusions, dan Ponzo Illusions. Penelitian pertama mengenai illusi optic ini dilakukan oleh Rivers ( 1905, dalam Price 2002) ketiga kelompok ini tunjukan Muller Layer dan Horizontal Vertikal Ilussions dan diminta menunjukan garis mana yang lebih panjang.
Ditemukan dari Muller Layer Ilusions bahwa pada responden Inggris lebih membuat kesalahan dibandingkan dengan kedua kelompok responden lain (Pedalaman India dan Papua Nugini). Responden Inggris lebih banyak yang melihat bahwa kedua garis dalam Muller Layer Illusions adalah tidak sama panjang, garis pertama lebih pendek dari garis kedua. Hal yang berbeda terjadi pada kelompok responden komunitas pedalaman India dan Papua Nugini yang cenderung melihat kedua garis adalah sama panjang.
Sedangkan pada Horizontal Vertical Illusions kelompok responden dari Papua Nugini dan pedalaman India lebih dikelabui dibandingkan responden Inggris, dimana mereka meyakini bahwa garis vertical lebih panjang dari garis horizontal. Hasil ini sangat mengejutkan banyak  orang awalny berkeyakinan bahwa tingkat kesalahan illusi dari kelompok responden Papua dan India akan lebih besar daripada kelopmpok responden dari Inggris yang lebih berpendidikan.
6.      Persepsi dan Faktor-faktor Terkait
Faktor Usia Pada Illusi : Tantangan Bagi Penganut Empiristik
Pollack  (1967, dalam Matsumoto, 1996) member alternative baru,bahwa fenomena optical illusions terkait dengan bertambahnya usia tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan rasial. Efek Muller Layer Illlusions behubungan dengan kemampuan mendeteksi contour (garis) dimana kemampuan ini menurun seiring bertambahnya usia. Semakin tua semakin peka terhadap cahaya matahari dan semakin berkurang cahaya yang masuk ke mata,  dan selanjutnya mempengaruhi kemampuan orang dalam menerima garis dalam illusi. Kemampuan contour detection ini terkait dengan perbrdaan banyaknya pigmen-pigmen dari retina. Orang kulit hitam dan berwarna diketahui memiliki pigmen- pigmen retina yang lebih banyak dibandingkan orang kulit putih.
In depth perception : Berperankah Factor Pendidikan
Hudson (1960, dalam Matsumoto, 1996)melakukan sebuah penelitian yang menarik dalam usahanya mempelajari pengaruh perbedaan budaya dalam persepsi. Disimpulkan bahwa pendidikan (proses belajar) memiliki pengaruh pada proses persepsi manusia.
7.      Budaya dan Indera Manusia
·         Budaya dan Indera Auditori ini meneliti pada persepsi visual tampak paling diminati, penelitian-penelitian mengenai kemampuan indera manusia yang lainya tidak begitu saja ditinggalkan para psikolog lintas budaya. Oliver (1934, dalam Berry, 1999) dalam melakukan penelitiannya ia menemukan bahwa mahasiswa Afrika Barat, dibandingkan dengan mahasiswa Amerika, memperoleh skor yang lebih tinggi untuk diskriminasi (membedakan) kekerasan suara, diskriminasi suara nada, dan identifikasi ritme, namun rendah dalam skor diskriminasi pola titi nada, diskriminasi warna suara (timbre), dan memori nada (tonal memori).
·         Buadaya Dan Indera Perasa ( Pengecap)
·         Kalmus (1969) dan Doty (1984, dalam Berry, 1999) melaporkan kekurangmampuan orang-orang Kaukasia untuk mengecap subtansi yang mengandung PTC (phenilthoicarbamide).
·         Budaya Dan Persepsi Warna
·         Magnus (1980, dalam Berry 1999) telah memberi arahan dalam melakukuan kajian persepsi warna terkait dengan variasi budaya ini. Beliau mempercayai bahwa persepsi mengenai warna dari suatu budaya  dapat ditelusuri dari lebelisasi dan kekayaan kosakata warna pada bahasa dari budaya tersebut.

C.     Budaya Dan Kognisi
1.      Budaya. Kategorisasi. dan Pembentukan Konsep
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. kategorisasi dapat dilakukan pada umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek yang dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan determinan utama dari proses kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Maka ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dan fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak dapat kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar, sedangkan kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
2.      Perbedaan Budaya Dalam Memori
Memori adalah sebuah proses pengolahan informasi dalam kognitif  yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpanan (store), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasakan jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan informasi tidak lebih dari 15 hingga 25 detik, dan memori jangka panjang atau memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memamggil kembali (Feldman, 1999). Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kita baca (primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat.
Wegner (180, dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strtegi memori ini behubungan dengan pendidikan. Wegner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacu effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak-anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya Wegner membagi proses memori atas dua macam yaitu : Hardwere atau kemampuan dasar dari memori (the besic limitation of memori) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak, dan softwere atau bahasa pemograman-bagaimana kita mengingat sesuatu-kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemograman inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.
3.      Budaya Dan Problem Solving
Kemampuan Problem Solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative-alternatif jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat terkait dengan factor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Permasalahan yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berfikir silogis (contoh: semua anak kecil menyukai permen, siti masih kanak-kanak, apakah siti menyukaim permen?) dfalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timiur dan Tengah yang dikatakan masih tribal( tradisioanal) dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berfikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya.
D.    Intelegensi
1.      Definisi Intelegensi
Intelegensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam intelegensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosa kata(berapa banyak kosakata yang kita ketahui dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif ( seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian, dan sebagainy), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya). Sternberg (1996) yang membagi intelegensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, eksperiential, dan componential. Kecerdasan  contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dfengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan eksperiential adalah merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide-ide baru dan mengkombinasikan fakta-fakta yang salinh tidak berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential adalah kemampuan berfikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
2.      Perbedaan Budaya Dalam Memahami Intelegensi
Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang barat adalah kemampun matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi social .Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang tepat. Sangat mungkin suatu alat tes hanya cocok untuk dikatakan mengukur intelegensi pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang lain(Matsumoto, 1996). Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor intelegensi diantara kelompok-kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegansi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan social, yang mana hal-hal ini adalah factor-faktor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat cina.
Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemapuan berfikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasumsikan oleh Peaget sebagai tiaik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
 Dapat disimpulksn bahwa kognisi dan persepsi keduanya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dimana latar belakang budaya sendiri yang mempengaruhi proses sensasi dan persepsi, selanjutnya interprestasi tersebut yang akan mempengaruhi proses-proses lain dalam kognisi manusia.



















DAFTAR PUSTAKA

Dayakismi, Tri(2008). Psikologi Lintas Budaya. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar