BAB I
PEMBAHASAN
A.
PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA KESEHATAN.
PENYAKIT. DAN PELAYANAN KESEHATAN
Salah
satu peran pendidikan yang utama adalah untuk memperbaiki kualitas hidup
manusia. Ketika kita bekerja
keras untuk menghadapi tantangan untuk memperbaiki kualitas manusia dalam
kesehatan fsik maupun mental, peran kultur dalam etiologi, pemeliharaan, dan
perawatan penyakit menjadi semakin jelas. Sementara itu pencegahan da perawatan
penyakit dan pemeliharaan kesehatan dilakukan secara lintas budaya, kultur
bervariasi dalam mendevinisikan tentang apa yang dipertimbangkan “ sehat” atau
“sakit” (Tseng & Mcdermott, 1981).
Budaya mempengaruhi perkembangan dari gangguan
psikologis dan medis serta mencoba melakukan treatmen terhadap gangguan
tersebut.sementara itu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan
sebagi berikut:
1.
Perbedaan Budaya
dalam Definisi Kesehatan
Tradisi
Amerika mendefinisikan kesehatan adalah “ medical model” yang memiliki arti
bahwa kesehatan sangat dipengaruhi dengan pendekatan. Model ini memandang
penyakit sebagai hasil suatu penyebab spesifik yang bias diidentifikasi di
dalam badan.
Pandangan
dari kultur Yunani dan Neri Cina masa lampau, mendefinisikan bahwa kesehatan
tidak hanya sebagai ketidakhadiran kondisi/keadaan negative tetapi juga sebagai
kehadiran kondisi yang positif. Oleh karena itu perilaku kita sangat
dipengaruhi oleh kultur, bahwa kita harus meningkatkan kesadaran kita tentang hubungan antara kesehatan, gaya
hidup, dan mencari jalan lebih baik untuk memahami pengaruh sosiokultural pada
kesehatan dan penyakit.
2.
Pengaruh
Sosiokultur Pada Kesehatan Fisik Dan Proses Penyakit Medis
Pengaruh
factor psikososial pada proses penyakit adalah salah satu dari bidang riset dan
studi yang menarik saat ini. Dari beberapa studi terbaru telah menunjukan
bagaimana kultur memainkan suatu peran utama pada perkembangan dan
perawatan/pengobatan penyakit. Studi ini adalah penting, sebab menghancurkan
dugaan yang umum bahwa penyakit fisik tak ada kaitannya atau jauh dari
faktor-faktor sosiokultural dan psikologis, dan sebaliknya. Studi ini berperan
untuk mengkombinasikan pengetahuan tentang factor-faktor psikologis pada proses
penyakit fisik. Perubahan pola gaya hidup ( misalnya: karena diet, merokok,
latihan olah raga, dan mengkonsumsi alcohol) dapat dilihay sebagai tanggapan
kita untuk meningkatkan kesadaran dan pengakuan mengenai hubungan timbala balik
yang kompleks antara kultur, psikologi, dan proses medis.
3.
Isolasi Sosial
dan Kematian
Beberapa
studi telah menyoroti efek negative yang potensial dari isolasi social dan efek
negatifnya pada kesehatan dan penyakit(Feist & Brannon, 1988). Salah satu
studi terbaik adalah studi Almaeda County (Berkman & Syme, 1979), peneliti
mewawancaraihampir 7000 individu untuk menemukan derajat tingkat kontak social
mereka. Data yang terakhir digunakan dalam studi ini mencakup kira-kira 4725
orang. Hasilnya dengan jelas menunjukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
yang memiliki ikatan social paling sedikit mengalami tingkat kematian yang
paling tinggi, dan orang-orang dengan ikatan social yang paling banyak
mempunyai tingkat kematian yang paling rendah. Penemuan ini adalah valid bahkan
ketika factor-faktor lain secara statistic atau secara metodologis.
4.
Penyakit
Cardiovasculer
Penyakit
Cardiovasculer telah menerima perhatian yang pantas dipertimbangkan dari
peneliti yang tertarik akan pengaruh sosiokultural dan psikologis pada penyakit
ini. Factor social dan psikologis
mempengaruhi perawatan/pengobatan dan perkembangan dari penyakit ini. Peneliti
sudah mengenali sejumlah factor tingkah laku da psikologis yang nampaknya
mempengaruhi penyakit Cardiovasculer dan dampaknya pada penyakit jantung.
5.
Alcohol
Consumption
Nilai
religius dan sikap masyarakat terhadap alcohol ditemukan memiliki korelasi yang
kuat dengan tingkat konsumsi alcohol pada masyarakat tersebut. Pada masyarakat
dengan mayoritas Muslim, dan Yahudi Orthodok di Israel, yang kedua religius
tersebut sangat melarang konsumsi alcohol, ditemukan dengan tingkat konsumsi
alkoholnya juga rendah. Hal ini tidak ditemukan pada masyarakat Eropa dan
Amerika Utara yang mayoritas beragama Kristen. Pada budha, para bhiksu dilarang mengkonsumsi alcohol, namun tidak
pada pengikutnya. Gambaran diatas dapat dilihat pada table dibawah ini dari
hasil penelitian J. Mackay ( 1993, dalam Tseng, 2001).
Tingakat
Konsumsi Alkohol (dalam liter pertahun)
High consumption
|
Moderate consumtpion
|
Low consumption
|
|||
Peranscis
|
16.2
|
Irlandia
|
6.0
|
Thailand
|
0.9
|
Argentina
|
12.6
|
Afrika Selatan
|
5.9
|
Turki
|
0.9
|
Italy
|
12.6
|
Norwegia
|
4.2
|
Ethiopia
|
0.8
|
Australia
|
10.1
|
Korea utara
|
3.7
|
Kamboja
|
0.6
|
USA
|
8.4
|
Israel
|
2.9
|
Irak
|
0.4
|
Inggris
|
6.9
|
Philipina
|
2.8
|
Indonesia
|
0.4
|
Jepang
|
6.8
|
Mexiko
|
2.6
|
Iran
|
0.3
|
chili
|
6.7
|
Singapura
|
1.6
|
Mesir
|
0.1
|
6.
Penyakit-Penyakit
Lain
Suatu studi terbaru
yang dilaporkan oleh Matsumoto dan Fletcher (dalam Matsumoto,1997), peneliti
ini memperoleh tinkat kematian dari enam penyakit medis yang berbeda
diantaranya adalah: Infeksi/peradangan dan penyakit seperti parasit,neoplasms
menular, penyakit system peredaran darah, penyakit jantung, penyakit cerebrovascular, dan penyakit yang
berhubungan dengan system pernapasan.
Triandis dkk, mengemukakan bahwa budaya memainkan peran dalam menangani stress,
yang mempengaruhi kesehatan. Matsumoto dan Fletcher (1994) mengemukakan bahwa
kultur mempengaruhi emosi dan fisiologi/fungsi faali manusia, terutama sekali
berkenaan dengan aktivitas system nerves autonomoic dan system kekebalan.
B. PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN
PERILAKU ABNORMAL
1.
Mendefinisikan
Abnormal
Ada beberapa sudut
pandang secara tradisional tentang prilaku abnormal. Salah satu sudut pandang
abnormal tradisional mendefinisikan abnormalitas dengan menggunakan pendekatan
statistic dan aplikasi tentang kreteria kerusakan/kelemahan atau inefisiensi,
penyimpangan,dan distress subjective.
Definisi abnormalitas
dengan memfokuskan pada prilaku individu yang dihubungkan dengan inefisiensi
dalam melaksanakan peran-peran yang umum. Jadi dapat disimpulkan bahwa prilkau
itu abnormal karena nampaknya jauh bertentangan dengan norma-norma social.
Tidak semua prilaku yang secara social menyimpang dapat dipertimbangkan
abnormal atau secara psikologis terganggu. Penggunaan norma-norma bermasyarakat
sebagai ukuran untuk abnormalitas adalah sulit, tidak hanya sebab norma-norma
berubah sepanjang waktu tetapi karena itu subjektif. Definisi abnormalitas
menjadi beragam di dalam suatu kebudayaan dan secara lintas budaya.
2.
Sudut Pandang
Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Menurut Murphy, 1976
menyatakan bahwa beberapa perilaku, terutama sekali yang berhubungan dengan
penyakit kejiwaan atau psikosis (contoh:delusi, halusinasi) adalah bersifat
universal dikenali sebagai abnormal. Beberapa penyelidik ( contoh: Kleinman,
1988;Marsella, 1979,1980)beralasan bahwa kenormalan dan abnormalitas adalah
konsep yang ditentukan secara cultural. Penyelidik ini mnunjuk fakta bahwa
kultur berbeda sikap dan kepercayaan mereka tentang prilaku abnormal.
3.
Kontribusi Social
Budaya Terhadap Psikopatologi
Beberapa peneliti dari
psikiatri dan psikologi klinis mencoba mengajukan beberapa hipotesa untuk
menjelaskan keterkaitan social budaya dengan psikopatologi sebagai berikut:
a.
The Social
Disorganization Hypothesis
Faris dan Dunham (1939,
dalam Tseng, 2001) mengamati bahwa pasien yang datang kerumah sakit jiwa
umumnya datang dari pinggiran Chicago yang miskin dan kumuh. Berdasarkan
obseravasi ini , mereka mengajukan hipotesis bahwa sebuah situasi social yang
buruk (extremely disorganized) dengan karakteristik: kemiskinan, perpindahan
yang cepat, komunikasi antar warga yang negative(kasar), konflik rasial, angka
kriminalitas yang tinggi, terisolasi secara social, atau kondisi social lain
yang tidak nyaman member kontribusi terbentuknya individu-individu dengan
psikopatologi, terutama schizophrenia.
b.
The Social Drift
Hypothesis
Hipotesis ini dibuktikan oleh Goldberg dan Marison (1963,
dalam Tseng 2001) berdasarkan hasil
penelitiannya pada riwat hidup pasien-pasien psikopatologi yang merupakan
keturunan (garis ayah) dari kelas menengah.
c.
Social
Attraction Hypothesis
Berdasarkan penelitian
di Bristol, Inggris, Robert Here (1956, dalam Tseng 2001) melihat bahwa pasien
psikopatologi bukannya terpinggirkan ke
disorganized society, melainkan situasi
social disorganized society
yang tidak terlalu penuh dengan norma dan tuntutan social telah menarik
mereka untuk pindah ke disorganized
society.
d.
Social Cohesion
as Protection Theory
Berbeda dengan tiga
teori sebelumnya yang melihat adanya disintegrasi social, Chane (1964, dalam
Tseng 2001) berdasarkan penelitiannya berbagai setting budaya menemukan bahwa
ada hubungan antara kohesifitas (kelekatan) masyarakat dengan kecenderungan
depresi. Semakin kohesif masyarakat, semakin rendah tingkat kecenderungan
depresi.
4.
Schizophrenia
Schizophrenia adalah
bagian dari kelompok gangguan psikotik(psychotic disordest) yang ditandai oleh
distorsi mengenai kenyataa, penarikan dari interaksi social, dan disorganisasi
persepsi, pikiran, dan emosi (Carson, Butcher & Coleman, 1988)
5.
Depresi
Marsella (1979,1980)
mengajukan alasan tentang pandangan depresi yang secara cultural relative, dan
menyatakan bahwa depresi menganbil bentuk afektif secara primer dalam kultur dengan orientasi
obyektif yang kuat( hal itu adalah yang
menekankan individualisme). Di dalam kultur ini, perasaan tentang kesepian dan
isolasi mendominasi gambaram symptom depresi.
Gejala somatic seperti sakit
kepala akan dominan pada kultur yang subyektif.
Marsella(1979) juga telah mengusulkan bahwa gejala depresi memiliki pola
yang berbeda antar budaya karena adanya variasi budaya dalam sumber-sumber
stress seperti juga dalam sumber daya/ potensi untuk mengatasi stress.
6.
Gangguan-G
angguan Psikologis Yang Lain
C. PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGADAPI PENYAKIT
1.
Perbedaan Dalam
Pelayanan Kesehatan Dan System Pengiriman Medis
Salah satu factor yang
belum dipertimbangkan banyak dalam kaitan dengan kecocokan dengan system pelayanan kesehatan
nasional adalah kiltur. Pengaruh budaya tidak bisa terpisah dari factor lain
yang berperan untuk pelayanan kesehatan
nasional. Khususnya, interaksi yang kompleks antara kultur, ekonomi, teknologi,
dan pemerintah menerangkan dengan contoh
bagaimana keterjalinan aspek-aspek social dari kultur adalah tidak dapat
terpisahkan dari institusi social, dan sebaliknya.
2.
Perbedaan Dalam
Psikoterapi Dan Penilaian(Assessment) Psikologi
Alat/instrument dan
metide assesement harus peka terhadap budaya dan pengaruh lingkungan lain pada
prilaku dan fungsinya. Mengenai standar teknik assesemaent, menunjukkan bahwa
mungkin ada permasalahan penyimpangan atau ketidakpekaan ketika metode dan
test psikologi dikembangkan dalam satu konteks budaya yang
digunakan untuk menilai prilaku di dalam suatu konteks berbeda. Terdapat dua
cara untuk meninjau pada penilaian dan
perawatan secara lintas budaya sebagai berikut:
a.
Penilaian(assesement)
antar budaya tentang perilaku abnormal
b.
Treatment (
perawatan) perilaku abnormal secara lintas budaya
3.
Telaah Lintas
Budaya Tentang Perawatan (Treatment) Terhadap Perilaku Abnormal
Prince (1980) adalah
umum bagi treatmet secara lintas budaya untuk memobilisasi
kekuatan-kekuatan penyembuhan di dalam
diri klien .
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi pengaruh factor psikososial pada proses
penyakit adalah salah satu dari bidang riset dan studi yang menarik saat ini.
Dari beberapa studi terbaru telah menunjukan bagaimana kultur memainkan suatu
peran utama pada perkembangan dan perawatan/pengobatan penyakit. Studi ini
adalah penting, sebab menghancurkan dugaan yang umum bahwa penyakit fisik tak
ada kaitannya atau jauh dari faktor-faktor sosiokultural dan psikologis, dan
sebaliknya. Studi ini berperan untuk mengkombinasikan pengetahuan tentang
factor-faktor psikologis pada proses penyakit fisik. Perubahan pola gaya hidup
( misalnya: karena diet, merokok, latihan olah raga, dan mengkonsumsi alcohol) dapat
dilihay sebagai tanggapan kita untuk meningkatkan kesadaran dan pengakuan
mengenai hubungan timbal balik yang kompleks antara kultur, psikologi, dan
proses medis.
DAFTAR PUSTAKA
Dayakismi, Tri(2008). Psikologi Lintas Budaya. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar