Senin, 24 Juni 2013

budaya dan kesehatan


BAB I
PEMBAHASAN

A.    PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA KESEHATAN. PENYAKIT. DAN PELAYANAN KESEHATAN
Salah satu peran pendidikan yang utama adalah untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Ketika kita bekerja keras untuk menghadapi tantangan untuk memperbaiki kualitas manusia dalam kesehatan fsik maupun mental, peran kultur dalam etiologi, pemeliharaan, dan perawatan penyakit menjadi semakin jelas. Sementara itu pencegahan da perawatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan dilakukan secara lintas budaya, kultur bervariasi dalam mendevinisikan tentang apa yang dipertimbangkan “ sehat” atau “sakit” (Tseng & Mcdermott, 1981).
Budaya mempengaruhi perkembangan dari gangguan psikologis dan medis serta mencoba melakukan treatmen terhadap gangguan tersebut.sementara itu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan sebagi berikut:
1.      Perbedaan Budaya dalam Definisi Kesehatan
Tradisi Amerika mendefinisikan kesehatan adalah “ medical model” yang memiliki arti bahwa kesehatan sangat dipengaruhi dengan pendekatan. Model ini memandang penyakit sebagai hasil suatu penyebab spesifik yang bias diidentifikasi di dalam badan.
Pandangan dari kultur Yunani dan Neri Cina masa lampau, mendefinisikan bahwa kesehatan tidak hanya sebagai ketidakhadiran kondisi/keadaan negative tetapi juga sebagai kehadiran kondisi yang positif. Oleh karena itu perilaku kita sangat dipengaruhi oleh kultur, bahwa kita harus meningkatkan kesadaran  kita tentang hubungan antara kesehatan, gaya hidup, dan mencari jalan lebih baik untuk memahami pengaruh sosiokultural pada kesehatan dan penyakit.
2.      Pengaruh Sosiokultur Pada Kesehatan Fisik Dan Proses Penyakit Medis 
Pengaruh factor psikososial pada proses penyakit adalah salah satu dari bidang riset dan studi yang menarik saat ini. Dari beberapa studi terbaru telah menunjukan bagaimana kultur memainkan suatu peran utama pada perkembangan dan perawatan/pengobatan penyakit. Studi ini adalah penting, sebab menghancurkan dugaan yang umum bahwa penyakit fisik tak ada kaitannya atau jauh dari faktor-faktor sosiokultural dan psikologis, dan sebaliknya. Studi ini berperan untuk mengkombinasikan pengetahuan tentang factor-faktor psikologis pada proses penyakit fisik. Perubahan pola gaya hidup ( misalnya: karena diet, merokok, latihan olah raga, dan mengkonsumsi alcohol) dapat dilihay sebagai tanggapan kita untuk meningkatkan kesadaran dan pengakuan mengenai hubungan timbala balik yang kompleks antara kultur, psikologi, dan proses medis.
3.      Isolasi Sosial dan Kematian
Beberapa studi telah menyoroti efek negative yang potensial dari isolasi social dan efek negatifnya pada kesehatan dan penyakit(Feist & Brannon, 1988). Salah satu studi terbaik adalah studi Almaeda County (Berkman & Syme, 1979), peneliti mewawancaraihampir 7000 individu untuk menemukan derajat tingkat kontak social mereka. Data yang terakhir digunakan dalam studi ini mencakup kira-kira 4725 orang. Hasilnya dengan jelas menunjukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki ikatan social paling sedikit mengalami tingkat kematian yang paling tinggi, dan orang-orang dengan ikatan social yang paling banyak mempunyai tingkat kematian yang paling rendah. Penemuan ini adalah valid bahkan ketika factor-faktor lain secara statistic atau secara metodologis.
4.      Penyakit Cardiovasculer
Penyakit Cardiovasculer telah menerima perhatian yang pantas dipertimbangkan dari peneliti yang tertarik akan pengaruh sosiokultural dan psikologis pada penyakit ini. Factor social dan  psikologis mempengaruhi perawatan/pengobatan dan perkembangan dari penyakit ini. Peneliti sudah mengenali sejumlah factor tingkah laku da psikologis yang nampaknya mempengaruhi penyakit Cardiovasculer dan dampaknya pada penyakit jantung.
5.      Alcohol Consumption
Nilai religius dan sikap masyarakat terhadap alcohol ditemukan memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat konsumsi alcohol pada masyarakat tersebut. Pada masyarakat dengan mayoritas Muslim, dan Yahudi Orthodok di Israel, yang kedua religius tersebut sangat melarang konsumsi alcohol, ditemukan dengan tingkat konsumsi alkoholnya juga rendah. Hal ini tidak ditemukan pada masyarakat Eropa dan Amerika Utara yang mayoritas beragama Kristen. Pada budha, para bhiksu  dilarang mengkonsumsi alcohol, namun tidak pada pengikutnya. Gambaran diatas dapat dilihat pada table dibawah ini dari hasil penelitian J. Mackay ( 1993, dalam Tseng, 2001).

Tingakat Konsumsi Alkohol (dalam liter pertahun)
High consumption
Moderate consumtpion
Low consumption
Peranscis
16.2
Irlandia
6.0
Thailand
0.9
Argentina
12.6
Afrika Selatan
5.9
Turki
0.9
Italy
12.6
Norwegia
4.2
Ethiopia
0.8
Australia
10.1
Korea utara
3.7
Kamboja
0.6
USA
8.4
Israel
2.9
Irak
0.4
Inggris
6.9
Philipina
2.8
Indonesia
0.4
Jepang
6.8
Mexiko
2.6
Iran
0.3
chili
6.7
Singapura
1.6
Mesir
0.1


6.      Penyakit-Penyakit Lain
Suatu studi terbaru yang dilaporkan oleh Matsumoto dan Fletcher (dalam Matsumoto,1997), peneliti ini memperoleh tinkat kematian dari enam penyakit medis yang berbeda diantaranya adalah: Infeksi/peradangan dan penyakit seperti parasit,neoplasms menular, penyakit system peredaran darah, penyakit jantung, penyakit  cerebrovascular, dan penyakit yang berhubungan  dengan system pernapasan. Triandis dkk, mengemukakan bahwa budaya memainkan peran dalam menangani stress, yang mempengaruhi kesehatan. Matsumoto dan Fletcher (1994) mengemukakan bahwa kultur mempengaruhi emosi dan fisiologi/fungsi faali manusia, terutama sekali berkenaan dengan aktivitas system nerves autonomoic dan system kekebalan.
B.     PENGARUH SOSIOKULTURAL PADA GANGGUAN PSIKOLOGIS DAN PERILAKU ABNORMAL
1.      Mendefinisikan Abnormal
Ada beberapa sudut pandang secara tradisional tentang prilaku abnormal. Salah satu sudut pandang abnormal tradisional mendefinisikan abnormalitas dengan menggunakan pendekatan statistic dan aplikasi tentang kreteria kerusakan/kelemahan atau inefisiensi, penyimpangan,dan distress subjective.
Definisi abnormalitas dengan memfokuskan pada prilaku individu yang dihubungkan dengan inefisiensi dalam melaksanakan peran-peran yang umum. Jadi dapat disimpulkan bahwa prilkau itu abnormal karena nampaknya jauh bertentangan dengan norma-norma social. Tidak semua prilaku yang secara social menyimpang dapat dipertimbangkan abnormal atau secara psikologis terganggu. Penggunaan norma-norma bermasyarakat sebagai ukuran untuk abnormalitas adalah sulit, tidak hanya sebab norma-norma berubah sepanjang waktu tetapi karena itu subjektif. Definisi abnormalitas menjadi beragam di dalam suatu kebudayaan dan secara lintas budaya.
2.      Sudut Pandang Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Menurut Murphy, 1976 menyatakan bahwa beberapa perilaku, terutama sekali yang berhubungan dengan penyakit kejiwaan atau psikosis (contoh:delusi, halusinasi) adalah bersifat universal dikenali sebagai abnormal. Beberapa penyelidik ( contoh: Kleinman, 1988;Marsella, 1979,1980)beralasan bahwa kenormalan dan abnormalitas adalah konsep yang ditentukan secara cultural. Penyelidik ini mnunjuk fakta bahwa kultur berbeda sikap dan kepercayaan mereka tentang prilaku abnormal.
3.      Kontribusi Social Budaya Terhadap Psikopatologi
Beberapa peneliti dari psikiatri dan psikologi klinis mencoba mengajukan beberapa hipotesa untuk menjelaskan keterkaitan social budaya dengan psikopatologi sebagai berikut:
a.       The Social Disorganization Hypothesis
Faris dan Dunham (1939, dalam Tseng, 2001) mengamati bahwa pasien yang datang kerumah sakit jiwa umumnya datang dari pinggiran Chicago yang miskin dan kumuh. Berdasarkan obseravasi ini , mereka mengajukan hipotesis bahwa sebuah situasi social yang buruk (extremely disorganized) dengan karakteristik: kemiskinan, perpindahan yang cepat, komunikasi antar warga yang negative(kasar), konflik rasial, angka kriminalitas yang tinggi, terisolasi secara social, atau kondisi social lain yang tidak nyaman member kontribusi terbentuknya individu-individu dengan psikopatologi, terutama schizophrenia.
b.      The Social Drift Hypothesis
Hipotesis ini  dibuktikan oleh Goldberg dan Marison (1963, dalam Tseng  2001) berdasarkan hasil penelitiannya pada riwat hidup pasien-pasien psikopatologi yang merupakan keturunan (garis ayah) dari kelas menengah.


c.       Social Attraction Hypothesis
Berdasarkan penelitian di Bristol, Inggris, Robert Here (1956, dalam Tseng 2001) melihat bahwa pasien psikopatologi bukannya terpinggirkan  ke disorganized  society, melainkan situasi social  disorganized  society  yang tidak terlalu penuh dengan norma dan tuntutan social telah menarik mereka untuk pindah ke disorganized  society.
d.      Social Cohesion as Protection Theory
Berbeda dengan tiga teori sebelumnya yang melihat adanya disintegrasi social, Chane (1964, dalam Tseng 2001) berdasarkan penelitiannya berbagai setting budaya menemukan bahwa ada hubungan antara kohesifitas (kelekatan) masyarakat dengan kecenderungan depresi. Semakin kohesif masyarakat, semakin rendah tingkat kecenderungan depresi.
4.      Schizophrenia
Schizophrenia adalah bagian dari kelompok gangguan psikotik(psychotic disordest) yang ditandai oleh distorsi mengenai kenyataa, penarikan dari interaksi social, dan disorganisasi persepsi, pikiran, dan emosi (Carson, Butcher & Coleman, 1988)
5.      Depresi
Marsella (1979,1980) mengajukan alasan tentang pandangan depresi yang secara cultural relative, dan menyatakan bahwa depresi menganbil bentuk afektif  secara primer dalam kultur dengan orientasi obyektif  yang kuat( hal itu adalah yang menekankan individualisme). Di dalam kultur ini, perasaan tentang kesepian dan isolasi mendominasi gambaram symptom depresi.  Gejala somatic seperti  sakit kepala akan dominan pada kultur yang subyektif.  Marsella(1979) juga telah mengusulkan bahwa gejala depresi memiliki pola yang berbeda antar budaya karena adanya variasi budaya dalam sumber-sumber stress seperti juga dalam sumber daya/ potensi untuk mengatasi stress.
6.      Gangguan-G angguan Psikologis Yang Lain

C.     PERBEDAAN BUDAYA DALAM MENGADAPI PENYAKIT
1.      Perbedaan Dalam Pelayanan Kesehatan Dan System Pengiriman Medis
Salah satu factor yang belum dipertimbangkan banyak dalam kaitan dengan  kecocokan dengan system pelayanan kesehatan nasional adalah kiltur. Pengaruh budaya tidak bisa terpisah dari factor lain yang berperan untuk  pelayanan kesehatan nasional. Khususnya, interaksi yang kompleks antara kultur, ekonomi, teknologi, dan pemerintah menerangkan  dengan contoh bagaimana keterjalinan aspek-aspek social dari kultur adalah tidak dapat terpisahkan dari institusi social, dan sebaliknya.
2.      Perbedaan Dalam Psikoterapi Dan Penilaian(Assessment) Psikologi
Alat/instrument dan metide assesement harus peka terhadap budaya dan pengaruh lingkungan lain pada prilaku dan fungsinya. Mengenai standar teknik assesemaent, menunjukkan bahwa mungkin ada permasalahan penyimpangan atau ketidakpekaan ketika metode dan test  psikologi  dikembangkan dalam satu konteks budaya yang digunakan untuk menilai prilaku di dalam suatu konteks berbeda. Terdapat dua cara untuk meninjau  pada penilaian dan perawatan secara lintas budaya sebagai berikut:
a.       Penilaian(assesement) antar budaya tentang perilaku abnormal
b.      Treatment ( perawatan) perilaku abnormal secara lintas budaya
3.      Telaah Lintas Budaya Tentang Perawatan (Treatment) Terhadap Perilaku Abnormal
Prince (1980) adalah umum bagi treatmet secara lintas budaya untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan  penyembuhan di dalam diri klien .


BAB II
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Jadi pengaruh factor psikososial pada proses penyakit adalah salah satu dari bidang riset dan studi yang menarik saat ini. Dari beberapa studi terbaru telah menunjukan bagaimana kultur memainkan suatu peran utama pada perkembangan dan perawatan/pengobatan penyakit. Studi ini adalah penting, sebab menghancurkan dugaan yang umum bahwa penyakit fisik tak ada kaitannya atau jauh dari faktor-faktor sosiokultural dan psikologis, dan sebaliknya. Studi ini berperan untuk mengkombinasikan pengetahuan tentang factor-faktor psikologis pada proses penyakit fisik. Perubahan pola gaya hidup ( misalnya: karena diet, merokok, latihan olah raga, dan mengkonsumsi alcohol) dapat dilihay sebagai tanggapan kita untuk meningkatkan kesadaran dan pengakuan mengenai hubungan timbal balik yang kompleks antara kultur, psikologi, dan proses medis.














DAFTAR PUSTAKA
Dayakismi, Tri(2008). Psikologi Lintas Budaya. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar